A. Pendahuluan
Setidaknya ada
dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia
yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN.
Dan yang kedua Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan
Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum
adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional,
Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan
pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.
Adanya
perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik
dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan
oleh seorang pengamat hokum dan pendidikan, Frans Hendrawinata beliau
mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang
baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita
untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat
menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang
berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal
tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat
kualitas sumber daya manusia di Indonesia
berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean.
Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional
yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia
internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.
B. Analisis
Saat kedua
undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS
Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai
kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak
sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan
pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah
pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti
K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU
yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat
pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan
Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus
beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang
bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950
dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua
murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara
menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan,
bersama-sama dengan Menteri Agama
Di sisi lain
RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan
Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash
mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN
tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan
kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam
sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam
sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK
MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang
antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang
kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti
dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI
dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29
tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai
SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini
mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain
ciri khas agama Islamnya).
Sementara saat
akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi
dimana RUU ini dianggap oleh Kelompok tertentu sebagai RUU yang
sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13
ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama”.
Selain itu ada
juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus
pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal
tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan
dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Mereka yang
menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta
non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara
pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan
sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta
didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga
penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus
merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Pasal ini
sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang
sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya
sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya
adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah
non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali –
untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga
pendidikan yang berwatak Islam.
Konsekuensinya,
beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama
Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji
guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab
manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau
beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga
pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar.
Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran
lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.
Departemen
Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama
bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan
mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di
sekolah-sekolah non-Islam.
Lain halnya
jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari
penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak
pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya
yang semestinya sudah lama dihilangkan.
Jika kita lihat
perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang
berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik
semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh
Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.
Banyak sekali keuntungan yang
dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun
2003 ini, diantaranya :
- Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Al Quran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).
- Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
- Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
- Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
- Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).
C. Faktor-Faktor yang
mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20/2001.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20 Tahun 2003
diantaranya adalah :
- UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik
- UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan
- UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua
- Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup
- Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
- Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
D. Penutup
Selama tidak
ada keinginan dan tidak memiliki prinsip bahwa hari ini harus jauh lebih baik
dari hari kemarin maka sehebat apapun undang-undang yang dibuat tetapi tidak
meiliki keinginan untuk memperaktekannya di lapangan, maka undang-undang
tersebut hanya bagaikan guru di atas kertas tetapi menjadi tikus pada tataran
realita.
0 komentar:
Posting Komentar